Rachel Amanda
Menjadi Aktor
Updated: Oct 12, 2021
Ketika saya memulai karir akting saya tujuh belas tahun yang lalu, saat itu saya berpikir bahwa menjadi aktor tidak lebih dari seseorang yang pandai "berpura-pura". Peran pertama yang saya dapatkan adalah seorang gadis kecil bernama Cherry, yang selalu berbuat onar dan berkelahi dengan kakak lelaki-nya, Bintang (diperankan oleh Joshua Suherman) dan kakak perempuan-nya (saya lupa nama perannya, diperankan oleh Masayu Anastasia). Peran itu juga merupakan kesempatan pertama saya untuk mempelajari berbagai emosi, terutama sedih dan menangis. Pertama kali saya mencoba menangis rasanya sulit sekali. Saya bahkan ingat saya sempat iri dengan teman sesama aktor cilik yang bisa menangis dengan mudahnya. Butuh beberapa hari untuk saya belajar sampai akhirnya saya bisa mengeluarkan air mata. Setelah itu, "menangis" menjadi hal yang relatif mudah.
Apabila saya ditanya oleh orang-orang "Kok Amanda nangisnya gampang sekali sih? Apa yang kamu bayangkan?", saya akan dengan cepat menjawab "Orangtua meninggal". Pada rentang usia tersebut (kalau tidak salah 6 hingga 9 tahun), tidak ada hal lain yang lebih menyedihkan selain ditinggal orangtua. Saya akan selalu membayangkan skema tersebut terlepas dari cerita yang ada pada skrip (yang sering kali berbeda atau tidak ada hubungannya dengan orangtua). Skema itu terus saya pertahankan, setidaknya pada beberapa judul dimana saya terlibat. Saya merasa berhasil "berpura-pura" dengan baik.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ditambah dengan bertambahnya usia saya, saya semakin memahami bahwa latar belakang yang ada pada skrip sebenarnya memang nyatanya menyedihkan; Kehilangan peliharaan kesayangan, berpisah dengan teman-teman karena harus pindah tempat tinggal, putus cinta, dan sebagainya.
Oh, kecuali yang ketiga. Sampai pada usia 10 tahun, ketika saya mendapatkan peran sebagai Dion di film "I Love You, Om", saya belum mengerti konsep cinta/ ketertarikan pada lawan jenis. Saya juga sempat bingung saat membaca skrip karena harus memerankan gadis kecil yang jatuh cinta dengan pria yang usianya 3x lipat usia saya. Akhirnya, saya hanya mempelajari konsep cinta dari film-film bertemakan cinta dan melihat pasangan yang ada di sekitar saya. Beruntungnya, proses pencarian "cinta" ini juga dibantu oleh kelas akting yang dilakukan saat pre-production, dimana saya dan si Om dipertemukan setiap hari untuk membangun chemistry. Hasilnya seperti yang (mungkin) teman-teman sudah saksikan sendiri :)
Produksi-produksi berikutnya kemudian menjadi tempat belajar bagi saya untuk memposisikan diri dalam kehidupan orang lain, dengan dinamikanya yang berbeda-beda. Saya juga belajar bahwa emosi selain sedih atau menangis juga emosi yang tidak kalah penting, bahwa menjadi aktor hebat bukan aktor yang pandai menangis. Perlahan, saya mengerti bahwa menjadi aktor bukan sekadar pandai "berpura-pura". Menjadi aktor berarti melatih empati kita pada setiap kesempatan, setiap peran, setiap waktu. Saya semakin menyadari bahwa sesuatu yang tidak berdampak apapun pada kita, bisa saja menjadi sesuatu yang mengubah kehidupan orang lain. Akting memaksa saya untuk melihat keadaan dari berbagai sudut pandang, mencari motivasi yang dimiliki oleh suatu peran, menggali masa lalu bahkan memprediksi masa depan seseorang yang saya "hidupkan". Singkatnya, menjadi aktor adalah menjadi manusia.
Bertemu dan bekerja sama dengan berbagai orang juga membuat saya percaya bahwa siapa saja bisa menjadi aktor. Beberapa kali saya bekerja sama dengan orang yang tidak memiliki latar belakang/ pengalaman akting sebelumnya, tetapi mereka berhasil menyentuh hati saya di depan kamera. Kok bisa? Satu hal yang saya rasakan : mereka jujur dan tulus saat membawakan perannya. Tidak ada yang dilebih-lebihkan, tidak ada yang diusahakan keras. Hal inilah yang juga dikatakan oleh salah satu teman baik saya, Yandy Laurens. Karena itu, Yandy tidak takut melibatkan seseorang yang belum pernah akting sebelumnya apabila ia sudah melihat ketulusan mereka. Setidaknya mereka mengerti bahwa mereka hanya perlu memanusiakan peran yang diberikan.
Saya juga bersyukur karena kuliah di jurusan psikologi yang sedikit banyaknya membantu saya dalam berakting. Saya bukan mahasiswi paling pintar atau cemerlang di kampus, tetapi belajar di lingkungan yang terbiasa mendengarkan, mendukung, dan berempati satu sama lain membuat saya menjadi terbiasa melakukan hal yang sama. Saya seperti diingatkan terus bahwa berakting bukan tentang saya, tetapi tentang lawan main saya juga.
Sudah berbicara panjang lebar tentang akting, apakah artinya saya sudah paham betul tentang akting? Tentu tidak. Setahun belakang ini saya sedang membaca buku tentang akting dan cukup terkejut karena banyak hal yang belum saya ketahui. Mungkin suatu saat saya akan bahas isi buku tersebut di blog ini :)
Lalu, apakah saya akan seterusnya menjadi aktor? Jujur, saya tidak tahu. Yang jelas, 17 tahun "kecemplung" di dunia akting telah membentuk pribadi saya yang sekarang. Dan saya selalu bersyukur akan hal itu :) Tulisan ini merupakan salah satu bentuk refleksi bagi saya untuk mengingat apa saja yang sudah saya lalui dan pelajari di dunia akting, sadar maupun tidak sadar. Semoga bisa menjadi insight bagi teman-teman yang membacanya.